Senin, 06 Juni 2011

PROFITABILITAS SISTEM PERPADUAN PETERNAKAN SAPI POTONG DENGAN PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN

PENDAHULUAN

Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti luas. Dengan adanya reorientasi kebijakan pembangunan sebagaimana tertuang dalam program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) maka pembangunan pertanian perlu melakukan pendekatan yang menyeluruh dan integrative dengan sub sektor yang lain dalam naungan sektor pertanian. Hal ini semakin penting untuk dilakukan apabila dikaitkan dengan program swasembada daging Suharyanto, (2006) untuk memenuhi kebutuhan protein hewani manusia yang sampai saat ini belum mampu terpenuhi.

Pengembangan sapi potong di suatu daerah sudah saatnya dilakukan usaha untuk memanfaatkan limbah pertanian dimana limbah pertanian yang berasal dari limbah tanaman pangan seperti jerami jagung, jerami padi dan lain-lain ketersediaannya sangat melimpah dialam serta dapat memberikan profi/ keuntungan yang sangat besar seperti meningkatkan pendapatan petani-peternak maupun pemerintah, memperbaiki kesuburan, menyediakan sekaligus meningkatkan produktifitas pakan, sumber pendapatan tambahan melalui penjualan kompos serta memberi peluang tenaga kerja.

Optimasi pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri dapat memperbaiki ketersediaan pakan. Integrasi dengan usaha pertanian merupakan alternatif untuk pengembangan peternakan yang berkesinambungan. Berkaitan dengan berbagai permasalahan tersebut maka pemanfaatan bahan pakan lokal perlu dioptimalkan sehingga dapat menekan biaya pakan tanpa mengganggu produktivitas ternak. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah memelihara ternak secara terintegrasi dengan tanaman pangan atau perkebunan. Dengan upaya tersebut diharapkan keterbatasan hijauan pakan dapat diatasi dengan memanfaatkan limbah pertanian atau perkebunan, sehingga produktivitas tanaman dan ternak menjadi lebih baik (Agustini, 2010).
Dalam peningkatan pendapatan petani peternak perlu dilakukan perbaikan-perbaikan mutu dari peternakan itu sendiri dengan penyediaan dan pemanfaatan sumber daya yang ada yang berasal berasal dari alam seperti pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak dengan perpaduan peternakan sapi potong dengan limbah pertanian yang belum termanfaatkan secara optimal sehingga dapat memberikan peluang yang sangat besar bagi peternak untuk meningkatkan efesiensi penggunaan pakan dengan pemanfaatan limbah pertanian serta mampu memberi nilai tambah dengan peningkatan pendapatan (keuntungan/profit) pada petani peternak.
Hal inilah yang melatar belakangi penyusunan Studi Pustaka yang Berjudul Profitabilitas Sistem Perpaduan Peternakan Sapi Potong dengan Pemanfaatan Limbah Pertanian

PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Sapi Potong

Ternak sapi potong Indonesia memiliki arti yang sangat strategis, terutama dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja, penghasil pupuk kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya adalah sebagai komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia, memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, dan mencerdaskan masyarakat (Santosa & Yogaswara, 2006)

Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah (Isbandi 2004; Rosida 2006; Direktorat Jenderal Peternakan 2007; Syadzali 2007; Nurfitri 2008; Santi 2008). Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa 2005; Mersyah 2005; Suwandi 2005).

Sapi potong merupakan salah satu komponen usaha yang cukup berperan dalam agribibisnis pedesaan, utamanya dalam sistem integrasi dengan subsektor pertanian lainnya, sebagai rantai biologis dan ekonomis sistem usahatani . Terkait dengan penyediaan pupuk, maka sapi dapat berfungsi sebagai "pabrik kompos" . Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8-10 kg/hari ; yang apabila diproses akan menjadi 4-5 kg pupuk organik (Haryanto et al. 1999) dalam Maryono (2010). Potensi pupuk organik ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mernpertahankan kesuburan lahan, melalui siklus unsur hara secara sempuma. (Suharto, 2000) dalam Maryono (2010) menyatakan bahwa dengan penerapan model low external input sustainable agricultural (LEISA) dapat diperoleh beberapa keuntungan antara lain: (i) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal ; (ii) Maksimalisasi daur ulang (zero waste); (iii) Minimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan) ; (iv) Diversifikasi usaha ; (v) Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang, serta (vi) Menciptakan semangat kemandirian.

Pengembangan sapi potong perlu mendapat perhatian serius mengingat permintaan daging belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Salah satu kendala dalam usaha ternak sapi potong adalah produktivitas ternak rendah karena pakan yang diberikan berkualitas rendah. Di sisi lain, potensi bahan baku pakan lokal seperti limbah pertanian dan perkebunan belum dimanfaatkan secara optimal, dan sebagian besar digunakan sebagai bahan bakar, pupuk organik atau bahan baku industri. Upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas nutrisinya melalui fermentasi, suplementasi, dan pembuatan pakan lengkap. Diversifikasi pemanfaatan produk samping atau limbah agroindustri serta limbah pertanian dan perkebunan menjadi pakan telah mendorong berkembangnya agribisnis sapi potong secara integratif dalam suatu sistem produksi yang terpadu dengan pola ulang biomassa yang ramah lingkungan atau dikenal zero waste production system (Wahyono dan Hardianto 2004).

B. Pemanfaatan Limbah Pertanian

Limbah adalah sisa atau hasil ikutan dari produk utama limbah. Limbah pertanian adalah bagian tanaman pertanian diatas tanah atau bagian pucuk, batang yang tersisa setelah dipanen atau diambil hasil utamanya (Sutrisno,2002) dalam Sitorus (2002) dan merupakan pakan alternatif yang digunakan sebagai pakan, khususnya ruminansia (Widiyanto, 1993) dalam Sitorus (2002). Beberapa limbah pertanian yang potensial dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal berturut-turut antara lain jerami padi, jerami jagung, pucuk tebu, jerami kedele, jerami ketela rambat dan jerami kacang tanah (Soejono et al., 1988; Van Bruchem dan Sutanto, 1988; Widiyanto, 1993; Pangestu,1995; Widyati et al., 1997) dalam Sitorus (2002)

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia pada peternak masih rendah karena rendahnya tingkat pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan disebabkan peternak membakar limbah (jerami padi/jagung/ ubi jalar) setelah panen dimana limbah ini berfungsi sebagai pupuk organik di samping itu adanya anggapan dari peternak bahwa hijauan pakan tersedia dalam jumlah yang mencukupi dilahan pekarangan, sawah dan kebun untuk kebutuhan ternak. Penelitian (Syamsu, 2007) dalam Liana & Febrina (2011) menunjukkan hanya 37.88% peternak di Sulawesi Selatan yang menggunakan limbah pertanian sebagai pakan.

Beberapa faktor yang menyebabkan peternak tidak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan adalah Liana & Febrina (2010) : a) umumnya petani membakar limbah tanaman pangan terutama jerami padi karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah, b) limbah tanaman pangan bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak untuk mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam pengangkutan, c) tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan, dan peternak tidak bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong rumah karena takut akan bahaya kebakaran, d) peternak menganggap bahwa ketersediaan hijauan di lahan pekarangan, kebun, sawah masih mencukupi sebagai pakan ternak.

Di sentra-sentra penghasil padi, banyak jerami yang dibuang atau dibakar begitu saja setelah bulir-bulir padi dipanen. Padahal jerami tersebut setelah dikeringkan dan disimpan dengan baik digudang dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan ternak ruminansia andalan. Dengan memiliki persediaan jerami padi kering, peternak tak perlu lagi ngarit (mencari rumput) atau membeli hijauan segar untuk pakan sapi (Saswono & Arianto, 2006).

Selama ini hampir 50% jerami padi dibakar, abunya dikembalikan ke tanah sebagai kompos dan hanya 35% yang digunakan sebagai pakan ternak. Sistem integrasi ternak dengan tanaman pangan tidak hanya meningkatkan nilai tambah limbah pertanian yang dihasilkan, tetapi juga meningkatkan jumlah dan kualitas pupuk organik yang berasal dari ternak sehingga mampu memperbaiki kesuburan lahan (Maryono, 2010).

limbah pertanian memiliki kandungan serat kasar yang tinggi namun terdapat melimpah dialam sehingga perlu adanya pemanfaatan yang lebih lanjut dengan sentuhan teknologi menurut (Saswono & Arianto, 2006) bahwa hampir semua limbah pertanian tanaman pangan dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan sapi. Walaupun hampir semua limbah pertanian itu mengandung serat kasar tinggi, tetapi dengan sentuhan teknologi sederhana limbah itu dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energi bagi ternak.

Peternakan sapi potong di Indonesia umumnya berupa peternakan rakyat yang berintegrasi dengan tanaman pangan (smallholder crop-livestock system). Umumnya peternak sapi adalah petani yang juga menanam berbagai komoditas tanaman pangan. Kondisi tersebut mencerminkan pentingnya integrasi antara tanaman pangan dan sapi. Limbah hasil tanaman pangan dan perkebunan dapat menjadi pakan ternak dengan memperbaiki kandungan nutrisinya. Beberapa limbah tanaman pangan dan perkebunan yang berpotensi sebagai pakan penguat atau suplemen (Hamdi Manyulu dkk, 2010)

C. Penerimaan dan Pendapatan Perpaduan Sapi Potong dengan Limbah Pertanian

Penerimaan adalah hasil perkalian antara produk-produk tersebut dengan harga jual. Penerimaan usaha sapi potong dengan pemanfaatan limbah diperoleh setelah proses penjualan produk yang dihasilkan yaitu daging sebagai produk utama dan feses sebagai produk sampingan. Penerimaan usaha peernakan sapi potong dapat bersumber dari penerimaan penjualan ternak, daging, dan feses. Sumber penerimaan penjualan ternak dan daging merupakan sumber terbesar dan sumber penjualan feses merupakan sumber terkecil yang diperoleh dari usaha peternakan sapi potong. Hal ini menunjukkan bahwa penjualan ternak dan daging merupakan sumber penerimaan utama dan feses merupakan penerimaan sampingan (Rusmiati, 2008).

Soekartawi (1995) dalam Sarina (2009) menyatakan bahwa pendapatan adalah perkalian antara produksi yang diperolehdengan harga jual. Sedangkan pendapatan (keuntungan) adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya denagn rumus π=TR-Tc dimana π adalah pendapatan, TR adalah total penerimaan dan Tc adalah total biaya. Selanjutnya dikatakan bahwa penerimaan diperoleh dari produksi fisik dikalikan dengan harga produksi. Total pendapatan bersih diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu produksi.

Menurut penelitian yang telah dilakukan dengan integrasi padi-jagung mempunyai penerimaan 26.270.235,40 dan total biaya 19.008.230,28. Jadi total pendapatan keuntungannya yaitu :
π = TR-Tc
= 26.270.235,40 - 19.008.230,28
= 7.262.005,12
Jadi pendapatan dari hasil perpaduan antara sapi potong dengan limbah pertanian sebesar 7.262.005,12.

D. Profitabilitas (Keuntungan) Sistem Perpaduan Sapi Potong dengan Limbah Pertanian

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan dalam kaitannya dalam kegiatan operasinya. Profitabilitas dari usaha perpaduan antara sapi potong dengan limbah pertanian memiliki potensi yang cukup besar karena menurut penelitian yang telah dilakukan Diminahasa mampu menghasilkan keuntungan Rp7.262.005,12/tahun. Profit dari usaha ini juga dapat diperoleh dari penjualan kotoran ternak yang telah diolah menjadi pupuk kompos sebagai unsur hara bagi tanaman. Menurut Kasmir (2009) Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam kegiatan operasinya. Tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan yang terpenting adalah memperoleh laba atau keuntungan yang maksimal. Untuk mengukur tingkat keuntungan suatu perusahaan, digunakan rasio keuntungan atau rasio profitabilitas yang dikenal juga dengan nama rasio rentabilitas. Rasio profitabilitas adalah merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan.

Profitabilitas dari perpaduan antara sapi potong dengan limbah pertanian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kemampuan dalam penjualan, kemampuan untuk menekan biaya dan kemampuan untuk mengelolah asset secara efisien yang dapat diukur dengan menentukan profit margin, operating asset turnover (perputaran modal) dan juga manajemen sistem pemeliharaan sapi potong. Profitabilitas dapat diukur dengan menggunakan profit marging dan operating asset turnover, dimana profit marging setiap perusahaan meningkatkan penjualan dengan menekan biaya-biaya sedangkan operating asset turnover, dimana setiap perusahaan menginginkan agar setiap modal yang tertanan dalam perusahaanya dapat berputar secara cepat dan lancar Martono (2002).

Berdasarka Penelitian yang telah dilakukan Pendapatan usaha tani integrasi sapi-kelapa di Bolaang Mongondow Sumatera Utara disajikan pada Tabel 4. Pendapatan rata-rata petanipeternak yang menerapkan sistem usaha tani integrasi mencapai Rp23.282.932,94/ tahun dengan nilai B/C ratio 1,50. Petani yang tidak menerapkan usaha tani integrasi hanya memperoleh pendapatan Rp2.247.375,16/tahun. Pendapatan terbesar pada usaha tani integrasi sapikelapa berasal dari hijauan pakan yang dapat dijual ke petani-peternak sapi yang belum menerapkan sistem integrasi (Elly dkk, 2008).

Selain sebagai sumber daging, ternak sapi berfungsi sebagai penghasil pupuk atau kompos untuk meningkatkan produksi tanaman pangan. Kotoran ternak dapat pula digunakan sebagai sumber biogas (Hasnudi 1991) dalam Elly dkk (2008). Hal ini mengindikasikan, integrasi sapi-tanaman dapat memberi manfaat yang besar bagi ternak dan tanaman. Menurut Bamualim et al. (2004) dalam Elly dkk (2008), keuntungan langsung integrasi ternak sapi-tanaman pangan adalah meningkatnya pendapatan petani-peternak dari hasil penjualan sapi dan jagung. Keuntungan tidak langsung adalah membaiknya kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang. Menurut Kariyasa dan Kasryno (2004) dalam Elly dkk (2008), usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Sistem integrasi sapi potong-jagung dapat menghasilkan pupuk kandang yang dapat dijual. Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat (2007) menyatakan pembuatan pupuk organik dari 2 ekor ternak dapat memberikan tambahan pendapatan hingga Rp1 juta/tahun.

Hasil penelitian (Suwandi, 2005) dalam Elly (2008) menunjukkan integrasi sapi potong-padi di Kabupaten Sragen meningkatkan pendapatan petani dan kesuburan tanah akibat bertambahnya unsur hara dari kompos. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan hasil gabah per musim (Rp145.000/ha). Selain itu, produktivitas pakan meningkat (dihitung dari nilai penghematan konsentrat Rp1,50 juta/tahun), serta kesempatan kerja bertambah melalui pengelolaan limbah, mencapai 100 HOK atau Rp1 juta/tahun.

Usaha ternak yang dikelola secara terpadu dengan usaha tani padi, yakni dengan memanfaatkan jerami padi sebagai pakan, hanya membutuhkan biaya tenaga kerja Rp 410.000−589.000/ekor. Usaha ternak sapi yang dikelola secara parsial (tidak menggunakan jerami padi) membutuhkan biaya tenaga kerja Rp 735.000− 1.377.000/ekor. Dengan demikian, usaha ternak dengan memanfaatkan limbah pertanian mampu menghemat biaya tenaga kerja 35,44−44,22% atau 5,26−6,38% terhadap total biaya usaha ternak. Hasil kajian Adnyana dalam (Kariyasa, 2005) dalam Suryana (2009) menunjukkan bahwa model integrasi ternak dan tanaman yang dikembangkan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi penggunaan pupuk organik 25−35%, dan meningkatkan produktivitas padi 20−29%. Di Nusa Tenggara Barat dan Bali, sistem ini mampu meningkatkan pendapatan petani masing-masing 8,41% dan 41,40%. Syafril dan Ibrahim (2006) dalam Suryana (2009) mengemukakan bahwa usaha ternak sapi potong yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan padi memberikan keuntungan paling tinggi, yakni 84%, sementara pada usaha tani padi-sayuran-ternak, pendapatan hanya meningkat 10%, padi-ternak ikan 2%, padi-sayuran-ternak-ikan 2%, dan sayuran-ternak (2%). Ternak sapi memberikan kontribusi terhadap pendapatan sebesar Rp 3.188.725, dan pendapatan dari usaha nonternak (padi-palawija-sayuranikan) Rp 5.078.414. Menurut Roessali et al. (2005) dalam Suryana (2009) upaya untuk mendorong partisipasi petani dapat dilakukan melalui usaha ternak yang terintegrasi dengan kegiatan pertanian lainnya yang lebih besar dan layak secara ekonomi, yaitu melalui sistem agribisnis.

Limbah pertanian yang dihasilkan dari suatu aktifitas belum mempunyai nilai ekonomis dan pemanfaatannya dibatasi oleh waktu dan ruang sehingga limbah dapat dianggap sebagai sumber daya tambahan yang dapat dioptimalkan. Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak mampu memberi nilai ekonomis melalui pengurangan biaya pakan dan membantu menekan pencemaran lingkungan. Keuntungan dalam pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak antara lain (Anonim, 2011):
  1. Memberi nilai tambah terhadap limbah. Pemanfaatan limbah yag mungkin sebelumnya belum digunakan sebagai bahan pakan dengan sendirinya akan memberikan nilai ekanomis terhadap limbah yang ada.
  2. Menciptakan lapangan kerja baru. Kegiatan pengolahan limbah pertanian menjadikan pakan tentunya memerlukan tenaga manusia yang juga berarti menciptakan lapangan kerja baru.
  3. Sanitasi lingkungan. Upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak secara tidak langsung mampu meningkatkan kebersihan dan menekan pencemaran akibat pembuagan limbah yag tidak tepat
  4. Menekan impor bahan pakan. Subtitusi penggunaan bahan baku pemenuhan ketersediannya masih diimpor dengan limbah dengan kandungan zat makanan yang setara merupakan alternative yang bijaksana.
Pola integrasi sapi dan padi dilahan sawah dapat memberikan keuntungan dapat memberikan keuntungan anatara lain (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, 2003) :
  1. Diversifikasi penggunaan sumber daya produksi
  2. Mengurangi resiko terjadinya kegagalan produksi
  3. Efisiensi penggunaan tenaga kerja
  4. Mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi bilogi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar
  5. Sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi, sehingga melindungi lingkungan hidup
  6. Meningkatkan out put dan pendapatan, serta mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.
E. Sistem Integrasi Sapi Potong dengan Limbah Pertanian

Pengembangan pola integrasi sapi dan padi di Sulawesi Selatan sangat perlu untuk dilaksanakan karena daerah ini memiliki luas persawahan 642.340 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan,1999), dan populasi sapi potong sebesar 783.659 ekor (Dinas Peternakan,1998). Kedua komoditi ini sampai sekarang cenderung berdiri sendiri dan terpisah, sawah pada umumnya ditanami padi serta palawija sedangkan ternak dipelihara diluar areal persawahan. Dengan adanya teknologi fermentasi limbah pertanian bermanfaat untuk memperkaya nilai gizi dan daya cerna. Selain itu fermentasi kotoran ternak akan diperoleh pupuk organik yang berkualitas. Dengan demikian pola integrasi sapi dan padi merupakan sistem usaha tani yang efektif untuk peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi yang cenderung menurun akibat rendahnya kandunagan bahan organik dalam tanah serta merupakan sumber pertumbuhan baru bagi pengembangan populasi sapi potong di Sulawesi Selatan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2003).

Program sistem integrasi tanaman- ternak merupakan salah satu alternatif yang potensial dalam mendukung pembangunan pertanian di Indonesia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas dan produksi tanaman pangan (beras) nasonal yang terintegrasi dengan usaha ternak sapi potong serta dapat meningkatkan pendapatan petani (Priyanti, 2007)
Sistem integrasi ini merupakan penerapan usaha terpadu melalui pendekatan low external input antara komoditas padi dan sapi, dimana jerami padi digunakan sebagai pakan sapi penghasil sapi bakalan, dan kotoran ternak sebagai pakan utama pembuatan kompos dimanfaatkan untuk pupuk organik yang dapat meningkatkan kesuburan lahan. Pendekatan low external input adalah suatu cara dalam menerapkan konsep pertanian terpadu dengan mengupayakan penggunaan input yang berasal dari sistem pertanian sendiri, dan sangat minimal penggunan input produksi dari luar sstem pertanian tersebut (Suharto, 2000) dalam Priyanti, (2007).

Program aksi untuk mewujudkan swasembada daging sapi pada tahun 2010 antara lain dapat dilakukan melalui kebijakan teknis pegembangan agribisnis sapi pola integrasi tanaman ternak berskala besar dengan pendekatan berkelanjutan dengan biaya murah dan optimalisasi pemanfaatan limbah atau yang dikenal dengan istilah low external input sustainable agriculture (LEISA) dan zero waste, terutama di wilayah perkebunan. Kegiatan operasional untuk pengembangan usaha perbibitan sapi potong yang murah dan efisien dapat dilakukan secara terintegrasi dengan perkebunan, tanaman pangan dan memanfaatkan sumber pakan lokal. Melalui inovasi teknologi limbah dan sisa hasil ikutan agroindustri pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan sapi yang potensial untuk usaha penggemukan dan pembibitan (Badan Litbang Pertanian, 2005)

Apabila diamati potensi bahan pakan limbah (hasil ikutan) tanaman pertanian, perkebunan dan agro-industri, maka penyediaan pakan ternak seharusnya tidak perlu dikhawatirkan Limbah pertanian, perkebunan dan agro-industri memiliki potensi yang besar sebagai sumber pakan temak ruminansia . Beberapa permasalahan pemanfaatan hasil ikutan pertanian sebagai pakan adalah nilai nutrisi yang rendah, penyimpanan yang menyita tempat dan kurang tahan lama . Oleh karena itu, pengembangan agribisnis sapi diarahkan pada budidaya petemakan yang menerapkan model LEISA terutama melalul Sistem Integrasi Tanaman Ternak (SITT) khususnya dengan tanaman pangan dan perkebunan . Diyakini bahwa SITT dapat menurunkan biaya produksi melalui optimalisasi pemanfaatan hasil ikutan pertanian, perkebunan dan agroindustri setempat dengan meminimalisasi penggunaan pakan tambahan yang berasal dari luar . Optimalisasi penggunaan bahan pakan hasil ikutan tanaman pertanian dan perkebunan diharapkan dapat menurunkan biaya ransum namun tetap mampu meningkatkan produktivitas temak sapi potong Maryono, (2010).

Integrasi sapi potong dengan limbah pertanian dilakukan pada umumnya dengan padi dan kelapa sawit karena banyak memberikan keuntungan yang tinggi. Contoh integrasi sapi potong dengan limbah pertanian yaitu Direktorat Jenderal Peternakan, (2010) yaitu :

1. Integrasi Ternak-Padi.

Usaha tani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak atau dengan menggunakan pupuk kandang mampu berproduksi sekitar 6,9 - 8,8% lebih tinggi dibanding usaha tani padi yang dikelola secara parsial tanpa menggunakan pupuk kandang. Dari sisi biaya, usaha tani yang dikelola secara terintegrasi membutuhkan biaya pupuk anorganik lebih rendah dibandingkan dengan usaha tani yang dikelola secara parsial. Dari aspek permintaan, tren pasar menunjukkan bahwa konsumen lebih suka memilih produk-produk pertanian organik. Sedangkan dari penghematan devisa, sistem integrasi ini diharapkan dapat mengurangi biaya subsidi pupuk yang diberikan kepada petani sejak tahun 2003

2. Integrasi Ternak – Kelapa Sawit.

Pengembangan program integrasi kelapa sawit-sapi mempunyai peluang yang sangat prospektif. Di dalam pola integrasi ini, tanaman kelapa sawit sebagai komponen utama sedangkan ternak sebagai komponen pelengkap. Limbah kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan adalah pelepah sawit, lumpur sawit, dan bungkil inti sawit. Disamping memanfaatkan limbah hasil kelapa sawit, sapi yang diintegrasikan dengan kelapa sawit juga bisa memakan gulma yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit. Untuk menunjang keberhasilan sistem integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit, dibutuhkan dukungan teknologi tepat guna.

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas maka dapat ditarik kesimpulkan bahwa sistem perpaduan sapi potong dengan limbah pertanian mampu memberikan profit (keuntungan) sebesar Rp 7.262.005,12 dan mampu menghemat biaya tenaga kerja 35,44−44,22% atau 5,26−6,38% terhadap total biaya usaha ternak serta dengan adanya perpaduan sapi potong dengan limbah pertanian dapat memberi nilai tambah pada ternak, limbah serta peternaknya sendiri karena mampu memberikan profit (keuntungan) yang besar sehingga akan saling menguntungkan apabila keduanya dipadukan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustini. 2010. Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan ternak Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 2010.

Anonim 2010. Klasifikasi Limbah Untuk Bahan Pakan http://www.linkpdf.com/ebookviewer.php?url=http://jajo66.files.wordpress.com/2008/11/01klasifikasi.pdf [2011]

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2003. Sistem Integrasi Padi-Ternak Departemen Peranian Sulawesi Selatan

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging 2014

Elly dkk. 2008. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Fakultas Peternakan Universitas Sam ratulangi. Bogor. Jurnal Litbang Pertanian,27 (2), 2008.

Hamdi Manyulu. 2010. Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Mulawarman Semarang. Jurnal litbang Pertanian, 29 (1), 2010.

Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68−80.

Kasmir.2009. Analisis Laporan Keuangan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Liana & Febriana. 2011. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada Peternak Rakyat di Kec. Rengat Barat Kab. Inragiri Hulu. Fakultas Pertanian Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (28-37)

Martono. 2002. Manajemen Keuangan PT Gramedia Pustaka. Jakarta

Maryono. 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Santosa dan Yogaswara. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Niaga Swadaya. Jakarta

Saswono & Arianto. 2006. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Niaga Swadaya. Jakarta
Sarina. 2009. Kontribusi Pendapatan Pengolahan Dangke Terhadap Total Pendapatan Kepala Keluarga Pengolah Dangke di Kecamatan Anggeraja Kab Enrekang. Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar

Sitorus. 2002. Peningkatan Nilai Nutrisi Jerami Padi dengan Fermentasi bagi Isi Rumen. Program Pacsa Sarjana. Fakultas Peternakan Diponegoro.

Suharyanto. 2006. Pengembangan Sistem Integrasi Sapi – Perkebunan Sebagai Upaya Pembangunan Peternakan Sapi Menuju Swasembada Daging 2010. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Potong Berorientasi Agribisnis dengan pola Kemitraan. Balai Pengkajian Kalimantan Timur. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1), 2009

Rusmiati. 2008. Analisis Profitabilitas Usaha. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Priyanti. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan pengeluaran Rumah Tangga Petani. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

Wahyono, D.E. dan R. Hardianto. 2004. Pemanfaatan sumber daya pakan lokal untuk pengembangan usaha sapi potong. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 66−76.